Saat Rupiah Keok Terhadap dolar AS dan Mata Uang Lain

7b00f9b3-7a44-49a8-88dd-0657a6cc036c_169

PT BESTPROFIT Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terus bergejolak dan tertekan. Namun tak hanya terhadap dolar AS, terhadap mata uang lain rupiah pun keok tak berdaya.

Pelemahan ini disebut terjadi akibat dua faktor yakni global dan domestik. Dua faktor ini sangat mempengaruhi aliran masuk dana asing sehingga menyebabkan tekanan pada nilai tukar. BEST PROFIT

Selain terhadap dolar AS terhadap mata uang apa saja rupiah melemah? Berikut ulasannya: BESTPROFIT

Mengutip data RTI, Rabu (25/7/2018), nilai tukar terhadap dolar AS tercatat Rp 14.518 per dolar AS melemah 0,03%. Kemudian nilai tukar rupiah terhadap dolar Australia tercatat Rp 10.738 melemah 0,29%.

Selanjutnya nilai tukar rupiah terhadap yuan China Rp 2.133 melemah 0,28%. Kemudian rupiah terhadap euro Rp 16.954 melemah 0,06%.

Nilai tukar terhadap poundsterling tercatat Rp 19.080 melemah 0,04%. Kemudian nilai tukar terhadap dolar Hong Kong tercatat Rp 1.850 melemah 0,05%.

Sementara itu untuk nilai tukar rupiah terhadap yen tercatat Rp 130,42 melemah 0,15%. Kemudian untuk nilai tukar Korean won tercatat Rp 12,86 melemah 0,23%.

Pelemahan juga terjadi pada nilai tukar rupiah terhadap ringgit Malaysia yakni Rp 3.571 melemah 0,25%. Kemudian terhadap dolar Singapura tercatat Rp 10.632 melemah 0,19%.

Nilai tukar rupiah terhadap Thailand baht juga mengalami pelemahan Rp 434,5 melemah 0,16%. Terakhir terhadap dolar Taiwan tercatat Rp 473,3 melemah 0,25%.

Nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) terhadap rupiah kemarin berada di level Rp 14.512. Nilai tukar mata uang Paman Sam masih betah di level Rp 14.500.

Mengutip Reuters, Rabu (25/7/2018), The Greenback sempat menyentuh level tertingginya di Rp 14.525 dan level terendahnya di Rp 14.510.

Mengutip laman resmi Bank Mandiri, dolar AS dijual Rp 14.530 pukul 11.40 WIB dan kurs beli dipatok Rp 14.480.

Kemudian, kurs jual dolar AS di Bank Negara Indonesia (BNI) sebesar Rp 14.547 dan kurs beli di Rp 14.492. Begitu juga dengan Bank Rakyat Indonesia (BRI), kurs jual dolar AS dipatok di level Rp 14.555 dan kurs beli di Rp 14.455.

Bank Tabungan Negara (BTN) memasang kurs jual dolar AS di Rp 14.595 dan kurs beli di Rp 14.420. Sedangkan Bank Central Asia (BCA) mematok kurs jual dolar AS Rp 14.527 dan kurs beli di Rp 14.505.

International Monetary Fund (IMF) mengatakan bahwa nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) terlalu mahal. Hal ini berbeda dengan nilai tukar yuan China yang berada sesuai fundamental ekonominya.

Dalam laporan tahunannya, IMF mencatat kondisi nilai tukar, surplus neraca berjalan semakin terkonsentrasi di negara maju.

Nilai tukar yuan China melemah beberapa pekan belakangan ini karena perang dagang dengan AS. Posisi mata uang negara Tirai Bambu mencapai level terendahnya di 13 bulan terakhir di 6,829 terhadap dolar AS karena otoritas di Beijing mengisyaratkan pelonggaran moneter untuk mendukung ekonomi di tengah perang tarif yang meningkat dengan AS.

Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin mengatakan bahwa dia khawatir tentang kejatuhan yuan.

“Kami akan sangat hati-hati meninjau apakah mereka telah memanipulasi mata uan,” kata Mnuchin seperti dikutip dari Reuters, Rabu (25/7/2018).

IMF mencatat surplus transaksi berjalan China tumbuh 1,7% tahun lalu terhadap produk domestik bruto (PDB). Negara lain yang mencatat surplus transaksi berjalan adalah Jerman, Korea Selatan, Belanda, Swedia, dan Singapura.

Sedangkan negara yang transaksi berjalannya defisit, antara lain AS, Inggris, Turki, dan Argentina.

Dengan demikian, nilai tukar dolar AS dinilai kemahalan atau terlalu tinggi dibandingkan kondisi fundamental ekonominya.

Pengamat Ekonomi, Aviliani menjelaskan gejolak nilai tukar saat ini memang dipengaruhi oleh sejumlah faktor global dan domestik.

“Sekarang kalau dilihat investor saat ini masih punya harapan supaya bunga acuan naik terus. Mereka akhirnya menempatkan dana di instrumen jangka pendek di berbagai negara,” kata Aviliani di kantor Bappenas, Jakarta Pusat, Rabu (25/7/2018).

Dia mengungkapkan, memang pergerakan rupiah masih dalam tren melemah. Tren tersebut diprediksi berlangsung jangka panjang.

“Trennya rupiah masih akan lari ke mana-mana. Sampai kapan? sampai Pilpres juga bisa karena investor melihat keadaan agar lebih kondusif,” tambah dia.

Aviliani mengatakan, selain dari faktor domestik ada juga faktor dari luar negeri. Misalnya kebijakan yang dikeluarkan Amerika Serikat (AS) yang dinilai terlalu sering berubah-ubah dan disebut kurang konsisten.

Menurut Aviliani, saat ini Indonesia juga sedang dihadapi dilema dengan pelemahan nilai tukar dan benchmark suku bunga.

“Dilema juga memang dengan suku bunga naik terus. Tapi ya setidaknya kita bisa punya jarak yang baik dengan bunga acuan AS dan membuat dana asing kembali ke Indonesia,” jelas dia.

Aviliani menambahkan, selain itu tingginya impor di Indonesia jugaa turut mempengaruhi tingkat nilai tukar. Namun impor ini memang dibutuhkan untuk pembangunan infrastruktur, tapi dibutuhkan evaluasi dan mengerem laju impor agar rupiah tak terlalu jeblok.

“Kalau untuk industri memang tidak mungkin rem impor, Indonesia juga parah di jasa seperti reasuransi hingga pelabuhan. Ini akan terus menyebabkan gejolak pada nilai tukar makanya dibutuhkan hedging,” jelas dia.

Sumber : Detik

Leave a comment